Kata Ganti Orang dalam Bahasa Aceh Dialek Nagan Raya
Dalam studi kebahasaan dikenal istilah kata ganti orang (pronomina persona) yang pemakaiannya mengacu kepada orang. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kata ganti orang dipakai sebagai pengganti penyebutan nama orang. Dalam kalimat Dia tidak seperti dulu lagi terlihat bahwa kata dia merupakan kata ganti orang sebagai pengganti nama orang. Andai yang dimaksud dengan dia adalah Ali, berarti dia merupakan kata ganti untuk Ali.
Kasus ihwal kata ganti orang seperti yang dijelaskan di atas tentu saja terdapat dalam semua bahasa meskipun dengan fungsi pemakaian yang berbeda. Sebut saja bahasa Aceh. Bahasa ini layaknya bahasa-bahasa yang lain juga memiliki kata ganti orang berikut dengan persesuaiannya. Untuk mengetahui jenis-jenis kata ganti orang dalam bahasa ini, cermatilah contoh dalam tabel berikut!
Kata ganti orang yang disebutkan di atas merupakan kata ganti orang yang lazim digunakan dalam masyarakat Aceh. Namun, tidak semua daerah di Aceh menggunakan kata ganti orang seperti yang disebutkan di atas. Salah satu daerah yang dapat diamati adalah Kabupaten Nagan Raya. Kata ganti orang yang digunakan oleh masyarakat di daerah ini memperlihatkan beberapa perbedaan dari kata ganti orang yang dipakai secara standar seperti yang disebutkan di atas.
Untuk memahami hal ini, cermatilah kalimat-kalimat berikut ini!
Dua kalimat pertama merupakan kalimat bahasa Aceh yang dipakai di Nagan Raya, sedangkan dua kalimat berikutnya merupakan kalimat bahasa Aceh yang standar digunakan oleh umumnya orang Aceh. Di mana letak perbedaan antara dua kalimat pertama dan dua kalimat yang berikutnya? Jika dicermati dengan seksama, perbedaannya terletak pada penggunaan proklitik pada kata kerja cok, kalön, dan teupeu.
Dalam bahasa Aceh yang umum dipakai oleh orang Aceh, geu- digunakan sebagai proklitik dari gopnyan yang merupakan kata ganti orang ketiga, misalnya dalam kalimat Gopnyan geujak u peukan. Adapun untuk kata ganti orang kedua digunakan neu-, misalnya pada kalimat Droeneuh neujak u rumoh nyan siat.
Akan tetapi, penggunaan geu- dan neu- secara unik terjadi pada bahasa Aceh yang dipakai oleh masyarakat di Nagan Raya. Masyarakat di daerah ini tidak menggunakan geu- sebagai proklitik kata ganti orang ketiga, tetapi sebagai proklitik dari kata ganti orang kedua, misalnya pada kalimat (1) dan (2) di atas. Jika ditulis secara lengkap, kalimat (1) berbunyi Adék ci geucok HP lôn siat lam kama! Jadi, bukan Adék ci neucok HP lôn siat lam kama! Hal yang sama juga berlaku pada kalimat (2) yang berbunyi Droeneuh na geukalön buku lôn, Mak? yang seharusnya Droeneuh na neukalön buku lôn, Mak? Penggunaan geu- untuk menggantikan neu-, baik pada kalimat (1) maupun pada kalimat (2) justru menimbulkan kerancuan bagi penutur di kabupaten ini. Hal ini tentu saja bukanlah merupakan suatu hal yang aneh karena masyarakatnya telah terbiasa menggunakan geu- sebagai kata ganti orang kedua tinimbang neu-.
Penggunaan geu- sebagai proklitik kata ganti orang kedua dalam tuturan masyarakat Aceh di Nagan Raya adalah pada kalimat tanya dan kalimat perintah. Bentuk ini tidak dipakai pada kalimat berita. Dengan kata lain, pada kalimat berita, geu- tetap menjadi proklitik kata ganti orang ketiga seperti pada kalimat Gopnyan ka geujak u peukan.
Masyarakat di Aceh di Nagan Raya juga tidak pernah menggunakan proklitik atau enklitik lông-/ -lông, -kuh, -ih, -teuh, -meuh/-teu. Penggunaan bentuk-bentuk seperti justru menjadi janggal bagi masyarakat ini. Bentuk-bentuk ini sebenarnya juga dipakai, tetapi khusus oleh orang-orang telah terasimilasi dengan penutur bahasa Aceh yang bukan berasal dari komunitas mereka. Berikut ini adalah ikhtisar kata ganti orang yang dipakai oleh masyarakat Aceh di Nagan Raya.
Dimuat di Buletin Tuhoe Edisi X, Oktober 2009
Nanggroe Aceh perlu adanya kongres Bahasa Aceh dan Kongres Bahasa Daerah Aceh. konsep kongres harus jelas tidak seperti kongres yang pertama dilakukan sekitar tahun 2008..
kongres Bahasa Aceh untuk menyatukan dan membakukan bahasa Aceh, dengan dengan adanya B.aceh yang baku maka kita bisa mengembangkan dan menggalakkan syair2 atau hadih maja dalam bahasa aceh baik dan benar. yang terjadi selama ini adalah penulisan bahasa aceh menurut konsep masing2 penulis yg belum tentu bisa diterima oleh penulis didaerahan lain padahal masih dalam koridor bahasa yang sama.
kemudian, begitu juga dengan bahasa lain yg ada di Aceh seperti bahasa Gayo/alas, singkil,aneuk jame ,dll .